Rabu, 15 April 2009

Kisah dibalik Lagu Terakhir 'Sang Merpati Putih' - Chrisye sebelum wafat

Entah mengapa, di pagi hari ini aku tiba-tiba googling tentang cerita dibalik lagu "LIRIH" Chrisye. Dan berikut ini adalah kutipan selengkapnya mengenai kisah dibalik usaha Chrisye menyanyikan lagu terakhirnya tepat 2 minggu sebelum beliau Wafat.

Hanya beberapa kawan dekatnya yang tahu bahwa penyanyi legendaris Chrisye, ketika sakit parah, sempat menyanyikan sebuah lagu baru di studio rekaman, tiga pekan menjelang wafatnya. Sebuah lagu yang sedang akan menjadi sejarah.

ChrisyeBerita eksklusif ini diliput dan ditulis oleh Suhunan Situmorang di Jakarta. Sepengetahuanku dan Suhunan, belum ada situs web, blog, media cetak, maupun televisi yang memberitakan kisah ini. Selamat menikmati sajian khusus dari Blog Berita Dot Com.

SAMA SEKALI TAK mampir di pikiran Aryono Huboyo Djati, lagu ciptaannya akan menjadi tembang terakhir yang dinyanyikan Chrisye. Penggubah lagu ‘Burung Camar’ itu memang tahu kondisi kesehatan Chrisye memburuk, hanya menunggu keajaiban, walau tak menyangka akan secepat itu berpulang.

Tak ada yang tahu — bahkan Damayanti Noor (Yanti), istri Chrisye, dan Acin, pemilik Musica Record — tiga pekan sebelum kepergian sahabatnya itu, sengaja ia “culik” Chrisye dari rumahnya untuk merekam lagu tersebut. Agar dibolehkan keluar rumah, kepada Yanti ia katakan akan membawa Chrisye melakukan terapi pengobatan alternatif di suatu wilayah Jakarta. Padalah, lepas senja itu, mereka berdua meluncur ke studio Musica, dan pulang ketika hari sudah malam.

Aryono Huboyo DjatiSetelah kurang lebih 23 tahun tak berkarya di bidang musik, sebuah lagu mendadak lahir dari kalbu Aryono. ‘Lirih’, judulnya. Saat menguntai nada-nadanya, di benak fotografer yang pernah mengundang decak kagum pengamat dan penggemar fotografi seantero negeri ini karena sebuah karyanya yang dipamerkan di hotel Nikko bisa terjual dengan harga 700 juta rupiah, hanya ada satu nama yang patut menyanyikannya: Chrisye.

Ia pun mencari akal, harus membohongi Yanti, sebab sadar, apapun alasan yang disodorkannya, Chrisye takkan mungkin dilepas untuk merekam sebuah lagu di studio rekaman dalam kondisi sakit seperti itu. Aryono sempat tercengang ketika Chrisye langsung menyetujui persekongkolan yang dibisikkannya. Bahkan di studio Musica, di tengah rasa sakit yang mendera tubuhnya, Chrisye tak hanya mempelajari notasi ‘Lirih’ dengan tekun, ikut pula melakukan perbaikan lirik agar lebih bertenaga dan sejiwa dengan “roh” lagu.

Bila suatu saat lagu itu anda dengar, saya yakin, takkan mudah percaya Chrisye menyanyikannya di kala kondisi tubuhnya sedemikian rapuh sembari menahan perih dan tinggal hitungan minggu meninggalkan dunia ini. Konsistensi suaranya tetap terjaga, bertenaga, subtil, selaras dengan nada lagu. Vokalnya yang menggetarkan estetika jiwa tak sedikit pun mengalami perubahan. Luar biasa! Bagaimana ia bisa melakukan itu?

“Chrisye memang seniman yang luar biasa, Bang,” ujar Aryono menanggapi ketakjubanku. Ia selalu memanggilku ‘Abang’ walau umurnya lebih tua, saya menyapanya ‘Mas’ sesuai tata krama Jawa. “Ia sangat profesional, sulit mencari tandingannya.”

Pengakuan doktor biologi kelautan dari sebuah universitas ternama di Jepang tetapi akhirnya “hanya” menekuni dunia fotografi itu, selama proses perekaman, tak sekalipun Chrisye mengeluhkan rasa sakit di tubuhnya. Malah bersikeras agar pengambilan vokal diulang hingga beberapa kali karena menurutnya belum memuaskan disebabkan tarikan napasnya yang tak lagi panjang seperti sedia kala, ketika masih sehat.

“Itulah yang selama ini paling saya kagumi dari diri almarhum,” imbuh lelaki kurus itu. “Komitmennya tak pernah goyah. Kalau sudah menerima suatu tawaran, dia tak pernah bekerja setengah-setengah. Padahal, kondisinya saat itu …”

Lagu berjudul ‘Lirih’ yang direkam tanpa sepengetahuan pemilik Musica itu baru diisi musik dasar piano yang dimainkan Aryono. Tak banyak yang tahu, ia amat piawai memainkan piano klasik dan jazz. Setelah halimun kabung yang menyelimuti keluarga Chrisye menguap perlahan-lahan, proyek rahasia Aryono dengan almarhum diungkapkannya pada Acin. Mulanya bos Musica itu tak percaya. Aryono pun memutar CD-nya.

“Gila lu, enggak ngasih tahu gue!” ujar Acin setelah mendengar lagu tersebut. “Aduh, gue sampe merinding mendengarnya…”

Bersama Acin, Aryono kemudian membawa lagu tersebut pada Yanti, sembari memohon maaf atas kebohongannya. Perempuan separuh baya yang begitu setia mengurus suaminya sebelum dan selama sakit itu meneteskan air mata saat nyanyian terakhir suaminya mengalun.

Kepada Acin, Aryono mengajukan satu syarat. Bila lagu tersebut dipublikasikan dalam album kompilasi lagu-lagu Chrisye yang sedang digarap Erwin Gutawa, maka yang mengaransemen musiknya harus Viky Sianipar. Mulanya Acin ragu karena terlanjur menganggap Viky hanya jago mengolah musik etnik, namun setelah diyakinkan Aryono dengan membeberkan fakta bahwa Viky termasuk langganan hajatan pesta musik jazz bertaraf internasional bertajuk ‘Java Jazz’, akhirnya setuju.

Kabar tersebut langsung disampaikan Aryono pada Viky. Musikus muda penganut aliran world music ini langsung jengah, selain tak percaya. Awalnya Viky tak bersedia menerima tantangan Aryono, semata-mata karena amat hormat pada Erwin Gutawa. Akhirnya mereka berdua sepakat, Viky sowan dulu ke musisi plus aranger yang, kepada saya, pernah diakui Viky amat kagum lewat album ‘Tribute To Koes’ dan album Chrisye ‘Badai Pasti Berlalu’ itu. Singkat cerita, di sela kesibukannya, antara lain menggarap dua lagu untuk album rohani Krisdayanti, Viky mulai mengerjakan musik dan aransemen lagu terakhir Chrisye tersebut.

Sejatinya, lagu dan lirik ‘Lirih’ menitis dari pengalaman pribadi Aryono. Fotografer yang jatuh cinta pada alam dan budaya Batak ini (sudah berkali-kali ia jelajahi Samosir, Toba, dan pernah pula menghadiri upacara ugamo Malim pimpinan Monang Naipospos, semua diabadikannya lewat potret-potret yang tidak saja indah tapi juga menakjubkan), ternyata baru mengalami patah hati dengan komunitasnya di alam maya sesama fotografer. Karena sebuah insiden, akhirnya ia mundur dari keanggotaan paguyuban para ‘Mat Kodak’ yang anggotanya puluhan ribu itu.

Surat elektronik pengunduran dirinya ditulisnya dalam bentuk puisi — yang kemudian menjadi lirik awal ‘Lirih’.

“Alasan yang agak sentimentil memang, tapi saat itu saya hanya mampu menulis surat seperti itu,” ujarnya untuk menjawab pertanyaanku, mengapa menulis surat berbentuk puisi. Rupanya, hatinya tengah gundah-gulana saat dan sesudah berselisih dan akhirnya memilih pisah dengan kawan-kawan virtualnya itu.

“Perasaanku campur-aduk. Kecewa, marah, sedih, sekaligus kangen, layaknya orang pacaran.” Jujur diakuinya, sebetulnya amat berat di hatinya meninggalkan komunitas berinisial ‘FN’ itu.

Chrisye mendengar curahan hati Aryono, walau kemudian memoles lirik ‘Lirih’ seakan sebuah kisah dua insan yang memilih berpisah kendati memedihkan hati.

Viky Sianipar sudah mengemas notasinya lewat iringan piano dan orkestra digital dengan rima mellow hingga makin berjiwa, dan sublim. Ketika pertama kali diperdengarkan Aryono ke telingaku, suatu malam menjelang pagi di studio Viky, saya benar-benar takjub dan merinding.

Tembang sedih itu dialunkan Chrisye begitu indah. Vokalnya masih seperti dulu, ketika tahun 1979 untuk kali pertama kudengar dan baru kutahu di negeri ini ada seorang biduan bersuara unik bernama Chrisye, yang menyanyikan ‘Merpati Putih’ sepenuh hati hingga langsung membius jiwa dalam album soundtrack film ‘Badai Pasti Berlalu’.

Alangkah beruntungnya kau, Aryono, menggubah sebuah lagu yang menggetarkan kalbu untuk dilantunkan sang legenda, dan itu adalah nyanyiannya yang terakhir. [www.blogberita.com]

CATATAN BLOG BERITA DOT COM:
SUHUNAN SITUMORANG novelisSuhunan Situmorang adalah seorang advokat idealis yang bekerja pada firma hukum Nugroho Partnership, pengarang novel, serta penikmat seni dan lagu-lagu rock hingga uning-uningan [musik gendang tradisional Batak]. Ia putra Samosir, pulau indah di tengah Danau Toba; menetap di Jakarta bersama tiga anaknya — Jogi, Tesa, dan Ayu — dan istri yang cuma satu. Foto Suhunan di sebelah ini adalah karya fotografer Aryono Huboyo Djati. Maaf kepada Bang Aryono karena foto ini telah “kurusak” dan kugunting dengan sewenang-wenang sehingga tak lagi seindah aslinya. :D


Silakan bila ingin mengutip artikel dari blog ini, dengan syarat menyebut sumber dan nama penulisnya. Bila dikutip untuk website, blog, atau milis, maka tuliskanlah sumbernya www.blogberita.com dan buatkan link ke artikel bersangkutan. Bila dikutip untuk koran, majalah, bulletin, radio, televisi, dll, maka tulislah/sebutkanlah sumber kutipannya; www.blogberita.com. []